Kata orang saya itu galak. Pernyataan ini sebenarnya benar.
Tapi di sini (red: Maluku Tenggara Barat) sayangnya pernyataan itu
salah. Alasannya tentu bukan karena saya menjadi orang baik. Tapi karena
di sini ternyata masih ada orang yang lebih galak lagi. Bukan sedang
mengajarkan majas perbandingan, melainkan ini soal informasi bahwa orang
galak ternyata juga bisa lebih disayang. Kok bisa? Begini ceritanya.
Hari
ini adalah hari pertama saya tiba di Adaut. Sekitar empat hari sebelum
pembagian laporan pendidikan. Pertama kali saya pergi ke sekolah,
seperti biasa anak-anak dengan senyum lebar dan teriakan yang keras
selalu mengucapkan “Hei anak-anak.... Ibu Ratih datang. Ibu Ratih
datang...ibu Ratih datang....”
Lalu diikuti dengan
lari-lari kecil anak-anak yang menyambangi diri saya satu per satu.
“Ibu...ibu....ibu...” diikuti baku pukul dan baku maki, karena mereka
saling dorong untuk memegang tanganku. Awalnya saya juga heran, mengapa
anak-anak ini begitu antusias. Bukankah saya galak? Kenapa ya mereka
tetap ingin terus mendekati? Bukti bahwa saya galak bukankah sudah
tersebar ke seantro jagad raya? (Lebay). Tapi anehnya anak-anak tetap
suka. Mereka menerima saya apa adanya. Mereka terlalu jujur untuk
mengatakannya. Mereka sungguh lugu. Mungkin sama dengan saya yang lugu.
Bisa kau bayangkan, lugu bertemu lugu hasilnya jadi lucu. Halah.
Yang
jelas pagi bertemu siang, siang bertemu sore, anehnya tidak ada yang
berubah dari mereka. Mereka sangat senang berbagi cerita, berbagi emosi
dan berbagi makanan pada saya walau saya galak. Dalam hati kadang saya
suka bertanya-tanya, “kok aneh betul ini anak-anak walau dimarahi tetap
saja seakan tidak berubah?” Mengapa mereka tidak kapok ya kalau saya
sudah ceramahi dengan pernyataan dan pertanyaan yang selalu sama. Mulai
dari ceramahi mengapa seng (red: tidak) mengerjakan PR? Mengapa seng
bawa pensil? Mengapa seng tulis tugas? Mengapa jambak rambut pung teman?
Mengapa seng pake sepatu? Mengapa seng sekolah kelemarin? Kenapa seng
dengar kalau ibu sedang menjelaskan? Kenapa makan di kelas? Kenapa
rambut seng dicukur-cukur? Kenapa kuku tangan seng dipotong? Pokoknya
pertanyaan dan pernyataan dengan menggunakan “seng” rasanya su habis
dimuntahkan oleh mulutku ini setiap harinya. Hal ini diakui memang tak
pernah saya pikirkan sebelumnya. Mungkin saya juga takkan terima profesi
sebagai seorang guru, jika syarat utama ternyata ‘harus mengucapkan hal
yang sama, berulang kali dalam keadaan yang serupa’. Tapi teman,
bukankah itu tanda cinta kita terhadap seorang anak, jika kita selalu
mengulang-ulang hal yang sama? Menasehati agar hal buruk ditinggalkan
dan hal baik dapat dilaksanakan? Ah, melankolis sekali pembahasan kali
ini. Namun begitulah adanya. Ternyata anak-anak bisa mencintai
saya--yang juga masuk kategori guru galak. Ungkapan ini booming dengan
sapaan: “mata Ibu Ratih sekali”, dan kau tahu apa maksudnya?
“Mata
Ibu Ratih sekali” itu adalah sebuah ungkapan yang sering digunakan
anak-anak kalau ada yang coba selalu ingin dekat-dekat dengan saya.
Aishhh... hal ini digunakan kapanpun dan dimanapun. Ungkapan ini mirip
dengan ungkapan yang sering digunakan anak-anak saat mengucapkan mata
mangga, mata uang, mata kusambi, mata jagong, dan mata-mata yang lain.
Misalnya
saja mata mangga. Mata mangga digunakan untuk anak-anak yang suka
sekali dengan mangga. Artinya, si anak akan berjuang sekuat tenaga hanya
untuk mendapatkan sebuah mangga.
Atau contoh lain adalah
mata uang. Mata uang biasa dikomentari untuk anak-anak yang senangnya
selalu minta uang atau based on money to create their life. Bedanya
dengan mata Ibu Ratih hanyalah dari segi intensitasnya saja. Mata Ibu
Ratih sekarang sudah menempati posisi tertinggi. Mungkin sudah mirip top
the top dalam gunjingan anak-anak se-sekolah. Kalau dilombakan, mungkin
sudah dapat award mengalahkan ‘Empat Mata’ dan ‘Mata Dewa’ dalam film
Alangkah Lucunya Negeri Ini. Halah. Pembahasan apa ini...
Kesehariannya,
biasa anak-anak menggunakannya begini. Misal ada anak kelas VI yang
dekat-dekat saya. Tak lupa ia berusaha untuk membagi makanan jagung
gorengnya pada saya. Tak berapa lama, pasti nanti ada saja yang bilang
“mata ibu Ratih sekali, oce (red: kamu) ini”. Saya pun hanya bisa
senyum-senyum sendiri kala ungkapan ini mencuat.
Atau ada
lagi contoh yang lain. Saat anak-anak kelas III melakukan action
research, biasanya ada saja anak-anak yang saling baku pukul dan baku
maki hanya untuk memegang tangan dan ada di samping saya. Setelah baku
pukul terjadi dan sudah kedapatan anak tersebut ada di samping saya,
pasti saja secara refleks akan terdengar lontaran anak-anak, “Mata Ibu
Ratih skaa (red: sekali) oce”. Lantas, diikuti dengan gerakan sambil
mendorong atau sambil menjambak. Wuidihhh. Dalam hati saya hanya
berbisik, “segitunya ini anak-anak.”
Beberapa kali saya
pun menemui kejadian serupa saat belajar di dalam kelas. Pada waktu itu,
anehnya anak kelas I dan anak kelas II suka sekali memperhatikan saya
di muka pintu dengan memadati pintu masuk. Lantas tak lama, pasti ada
saja dari beberapa anak kelas saya--yang cemburu gurunya
diperhatikan--langsung mengusir mereka. Cara mengusir mereka tentu
tetaplah sama dengan tema utama. Mereka tetap mengatakan, “oce ini, mata
Ibu Ratih skaaa. Sana pigi (red: pergi)”, kemudian disusul suara sapu
mengusir anak-anak yang lari kocar-kacir, “bak-buk-bak-buk....”
Aishhh... Anak kelas I dan kelas II yang mendapatinya, hanya mampu
menyumpah dengan lengkingan tinggi, “Kejam sekali e.”
Sebulan,
dua bulan, tiga bulan. Rasanya kondisi ini tetap tidak berubah. “Mata
Ibu Ratih” yang saya sangka sebagai ungkapan musiman ternyata tidak
terbukti. Sampai dengan hari ini anak-anak tetap mengungkapkan ungkapan
yang sama: “Mata Ibu Ratih sekali oce” jika ada yang coba-coba
mendekati.
Heran. Saya dibuatnya heran. Andaikan
diperbolehkan membuat soal ujian seperti ini: “apakah yang membuat
anak-anak begitu mencintai Ibu Ratih?” pasti anak-anak akan sangat sulit
menjawabnya. Kesulitannya tentu bukan cara menjabarkannya. Tapi
kesulitannya karena banyak anak-anak saya yang tidak bisa membaca. Hehe.
Bercanda. Maksud saya bisa jadi anak-anak tidak mengetahui apa arti
kata “cinta”. Yang mereka tahu, hanya sebuah kata sederhana yang selalu
mereka ungkapkan “mata Ibu Ratih sekali”. Atau bahkan kesulitannya bisa
pula seputar “mengapa kok orang galak bisa jadi disukai?”
Kau
tahu, kawan? Menjadi orang galak itu terkadang memang banyak musuhnya.
Tapi menjadi orang galak dengan banyak penggemar anak murid, sebenarnya
itu bisa-bisa juga. Dilandasi dengan motif selalu perhatian, memiliki
sifat keluguan yang sama, kedekatan yang lebih intens dibanding orang
galak sesungguhnya, adalah hal berbeda yang membedakan saya dengan
lainnya.
Sebenarnya bahkan guru galak juga bisa dicintai
oleh semua penduduk sekolah. Asalkan ia punya lagi dua kunci utama. Kau
tahu apa? Hal pertama adalah kunci tulus, dan kedua adalah kunci ikhlas.
Dua kata ini dalam prakteknya janganlah sekali-kali dipisahkan. Saat di
penempatan, saya merasakan kata tulus dan ikhlas adalah dua hal yang
berbeda. Orang yang ikhlas itu sudah pasti tulus, namun belum tentu
sebaliknya. Tidak semua orang tulus itu bisa ikhlas. Keikhlasan
seseorang itu sangat bergantung kepada hatinya. Hatinya di hadapan Allah
ta’alla. Dan yang tahu hanyalah engkau dan Yang Maha Pencipta.
Ada
sebuah hadist riwayat Muslim yang tak lama saya baca. Dikatakan bahwa
Abu Hurairah r.a. berkata, “saya mendengar Rasululloh SAW bersabda,
“Pertama: di hari kiamat seorang yang mati syahid diadili, maka
dihadapkan dan ditanya beberapa nikmat Tuhan yang diakuinya, lalu
ditanya, “Apakah perbuatanmu terhadap nikmat itu?” Jawabnya, “saya telah
berjuang untukmu sehingga mati syahid.” Jawab Tuhan, “Dusta engkau,
karena maksud engkau berjuang supaya dikenal sebagai pahlawan karena
keberanianmu. Dan kau sudah mendapatkannya.” Kemudian diperintahkan agar
ia dicampakkan ke neraka.
Kedua: seorang pelajar yang
telah pandai membaca dan mengajar Al-Qur’an, ketika pelajar itu
dihadapkan kepada Pengadilan Allah Ta’alla dan ditanya tentang
nikmat-nikmat karunia Allah yang telah diakuinya lalu ditanya, “Apakah
perbuatanmu terhadap itu semua?” Jawabnya, “saya telah mempelajari
Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Itu semua saya lakukan
sebagai pengabdianku terhadap-Mu.” Tuhan menjawab, “Engkau berdusta,
karena engkau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an bukan untuk
memperoleh ridha-Ku, tetapi agar engkau menjadi seorang Qari yang
terkenal.” Kemudian pelajar itu diperintahkan Allah Ta’alla untuk
ditempatkan di neraka.
Ketiga: seorang hartawan yang
memiliki harta benda yang banyak, dan ini telah diakuinya. Ia ditanya,
“Apakah yang engkau perbuat dengan harta bendamu yang banyak itu?”
Jawabnya, “Harta benda yang saya miliki itu saya belanjakan sesuai
dengan kehendak-Mu.” Jawab Tuhan, “Engkau berdusta, karena engkau
membelanjakan hartamu itu bukan untuk memperoleh ridha-Ku, tetapi agar
engkau menjadi orang terkenal kedermawanannya.” Lalu, orang ini
diperintahkan Allah untuk dilemparkan ke dalam api neraka.
Kau
tahu artinya? Sungguh menjadi orang galak itu tak gampang. Orang galak
juga manusia. Selain punya kewajiban untuk mengubah sifat galaknya, ia
pun harus memunculkan rasa tulus ikhlas dalam waktu yang sama.
Kadang
saya bertanya dalam lubuk hati terdalam, “ya Allah akankah apa yang
saya lakukan akan diridhoi olehMu? Setidaknya akankah yang saya lakukan
ini dapat diterima oleh Mu?” Dengan intensitas menulis yang sering serta
amalan yang diinformasikan kepada pembaca agar dapat menginspirasi,
kadang cukup memberikan keresahan dari dalam diri. Kewajiban seorang
Pengajar Muda untuk menginspirasi dengan amalan ikhlas tanpa mengharap
balasan duniawi adalah dua hal yang beda-beda tipis. Hampir tak ada beda
diantara keduanya. Terbersit sedikit saja melenceng dari niat asli,
akan menyebabkan amalan tidak diterima oleh Ilahi Rabbi.
Tak
terasa tiga bulan lagi masa penarikan itu kan tiba. Bisa kau bayangkan
seumur hidupmu tidak akan ada lagi yang bilang “mata Ibu Ratih” di
setiap jejak halaman sekolah. Tidak akan ada lagi yang memberikan
kelarat (red: srikaya), nangka (red: sirsak), jagong, donat, roti, lele
(red: singkong parut yang direbus) setiap kali istirahat tiba. Tidak
akan ada lagi surat-surat cinta yang berterbangan dari jendela kaca
dengan tulisan: “Obe love Ibu Ratih” atau “Vene sayang Ibu Ratih” atau
“Ibu, kalau ke Jawa jangan lupakan Aya ya”. Tidak akan ada lagi yang
menggelendotimu kemanapun kamu berada. Intinya tidak akan ada lagi
penggemar setia nan jenaka yang selalu bisa mengungkapkan rasa cinta
dengan berbagai versi dan mimik muka. Hanya bekas kenangan yang nantinya
akan menempel pada lembar-lembar perjalanan seorang anak bangsa. Tak
lebih tak kurang waktu itu kan tiba dengan segera.
* Adaut, 15 Maret 2012. Don’t be sad, nak. InsyaAllah Ibu Ratih datang lagi kesini. InsyaAllah ya.