Entah dari
mana mulanya jari-jemariku bergerak-gerak sendiri di atas halaman buku tulis,
berlenggak-lenggok membentuk garis-garis halus yang akhirnya menjelma sebagai
sungai yang tak henti-hentinya mengalir.
Waktu
sepertinya perlu sesekali mengajariku cara tercepat meninggalkan dan
melupakannya, meski kadang tak yakin, yang diingat akan 'hilang' begitu
saja--esok, lusa, bahkan ribuan detik kedepannya.
Aku (yang
kuat) kadang perlu juga menegarkan hati dengan merapal mantra 'semoga', dan
berharap mantra itu mustajab untuk mengembalikan 'yang pergi' dan memulangkan
'yang lupa'.
Meskipun
kadang pula aku paham bahwa setiap mataku membuka, sebenarnya ia akan tetap
pergi dan tetap lupa.
Pagi ini,
aku (yang kuat) seperti burung kehilangan dahan-dahan dan tak menemukan cahaya
matahari.
Ah, ayolah
semangat sedikit. Pasti bisa menghilang dan muncul tiba-tiba di tempat yang
jauh. Kenyataan hidup jelas-jelas mengatakan agar aku melupakan rindu itu.
Semesta semua sungguh mengharap agar aku (yang kuat) kembali, dan tak lagi
terlambat.
Maka
cukuplah kukatakan dengan pelan pada hati bahwa aku ingin merindu dengan cara
yang sederhana saja, berdoa untuknya lekat-lekat, memohon ampunanNya, dan
diam-diam mengagumiMu dari kejauhan yang sebenarnya amat dekat. Karena ku tahu
bahwa sesungguhnya Engkau (Allah dan hambaNya malaikat-malaikat yang mulia)
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan kepada hatinya,
dan Engkau lebih dekat kepada kami dari pada urat leher ini.
(QS. Qaf
:16)
-----
Ratih
Diasari
Terinspirasi
dari Khrisna Pabichara-- "Sepatu Dahlan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar