Senja ini
seakan bukan permulaan malam. Sengat mentari itu seakan juga bukan permulaan
siang. Mendung ini bukan berarti kan turun hujan. Hujan lebat bukan selalu
membuat angin bertiup kencang. Kobaran api bukan berarti kan kebakaran. Jantung
berdetak kencang juga bukan berarti ada gangguan.
Panasnya
tubuh tak selalu kecapean. Lelahnya mata tak selalu saya ngantukan. Rindunya
hati tak selalu kangen seseorang. Letihnya pikiran tak selalu butuh pendamping
kehidupan. Dan dua kalimat terakhir, tak selalu jujur diucapkan dari hati yang
terdalam.
Hidup.
Hidup memang tak selalu memuat dua kalimat terakhir dalam posita yang sekilas
baru disebutkan. Melainkan hidup tersusun dengan teka-teki hidup yang saling
menguatkan satu dengan lainnya. Dulu bisa ngomong begini, sekarang bisa ngomong
yang beda lagi. Sayangnya bertolak-belakang dengan hukum yang dimaknai:
menghendaki adanya sebuah konsistensi.
Kau tahu?
Andaikan angin bisa bicara. Andaikan bulan bisa ngomong sesuka kata. Andaikan
batu bisa menjadi teman yang setia. Andaikan ombak bisa bersenda gurau mainkan
canda. Andaikan jibril selalu membawa kabar gembira. Andaikan rerumputan bisa
membantu damaikan hati yang sedang gundah. Pasti hidup bukan lagi sarat dengan
teka-teki belaka. Pasti hidup menjadi statis, karena semua ada saksinya (Pasal
164 HIR).
Kata
pepatah kuno. Hidup memuat seribu satu tanda tanya. Dan salah satu tanda tanya
terbesarnya adalah soal rindu. Dan kau tahu? Tepatnya saya sekarang sedang
rindu!
Rindu pada
otak, yang anehnya sekarang bisa lupa. Rindu pada ilmu, yang harusnya dapat
mengalir dengan setia. Rindu pada buku, sehingga ingin terus membaca. Rindu
menjadi orang berilmu, karena tak dapat melihat langsung keadaan yang berbeda
dari kehidupan yang sebenarnya fana. Ah, hidup! Hidup memang hidup. Hidup tak
kan selesai dengan kehidupan yang tidak hidup.
Kehilangan
separuh dari nilai kekayaan apa-apa yang kamu junjung tinggi dalam hidup, tentu
sekejap membuatmu menjadi kelu. Tak enak makan, tak enak tidur apalagi terus
hanya sekedar mengeluh. Itulah yang saya rasakan saat ini. Kehilangan kemampuan
hukum yang tidak pernah dipelajari selama satu tahun dan semua telah berlalu.
Rasanya
seakan sama seperti pemegang saham minoritas yang dirugikan oleh Perseroan.
Atau sama seperti pihak yang dirugikan oleh Deditur sehingga dapat mengajukan
tuntutan sesuai Pasal 1267 KUHPerdata (red: walau ada perbedaan pendapat
tentang penggunaan kata yang lebih tepat untuk gugatan/tuntutan, dalam konteks
persidangan kasus perdata). Atau mungkin sama resahnya seperti ahli waris yang
beragama kristen pada pembagian warisan harta bersama dengan UU 1/1974, yang
mendapatkan porsi sesuai Pasal 183 KHI.
Keadaan
kepala ini memang tak lagi sempurna. Satu per satu hilang karena digantikan
dengan hal baru yang dijadikan novum dalam eksepsi dalam persidangan organ di
kepala. Kata teman saya, jangan sibuk mencari yg sempurna, jika yg sederhana
saja bisa membuatmu bahagia. Aih..aih.. Singkat sekali katanya. Namun sulit
sekali mendapatkannya. Sulit menjabarkan kata 'sederhana' dengan sekedar
menggunakan penafsiran gramatikal.
Hilang
sepertinya kemampuan terbaik saya dalam hukum perdata. Begitu pula, obscuur
libel/tidak jelas kemampuan berpikir saya dalam hukum agraria. Sulitnya
mengkonstatir peristiwa yang dulu pernah diingat dan dialami untuk dikembalikan
menjadi pengetahuan semesta. Hilangnya kemampuan mengkualifisir peristiwa
dengan ilmu hukum yang dulu dimiliki menjadi kendala dalam mengkonstituir
pengetahuan di zaman yang sekarang serba berbeda.
Waktu
terus berjalan mendampingi kehidupan. Sudah seharusnya waktu yang berdetak
berjalan bersamaan dengan pengetahuan. Kejar apa-apa yang menjadi pokok perkara
yang dirindukan. Lakukan prioritas dengan giat belajar pada guru sekaligus
advocate yang senatiasa menjadi incaran. Incaran mafia untuk membela
tindak-tanduk kesesatan, maupun incaran mahasiswa sebagai pemburu ilmu
pengetahuan.
Matahari,
angin, batu, api, dan jantung yang tak selalu menjadi jawaban atas kerisauan.
-----
Mulai
candu (belajar) hukum perdata.
Mulai
'gila'--paska nonton film Rayya.
Mulai
belajar gaya tulis--metafora.
Special
giving for Garda Utama & associates
Tidak ada komentar:
Posting Komentar