Katanya Hukum itu untuk Kemanfaatan
Berdasarkan
pelajaran pengantar ilmu hukum, katanya hukum itu tidak dapat didefinisikan,
karena ada keberagaman tentang definisi hukum. Berdasarkan pelajaran teori
hukum, katanya hukum itu lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakat.
Berdasarkan pelajaran hukum perdata, katanya hukum itu mengatur kehidupan
manusia dari lahir sampai seseorang meninggal dunia.
Hai,
kalian para calon sarjana dan sarjana hukum? Ingatkah kalian akan pelajaran
tentang penemuan hukum. Apa itu kebiasaan dan bagaimana kebiasaan itu bisa
menjadi hukum?! Singkat syaratnya adalah harus berlangsung lama, menimbulkan
keyakinan umum, dan diyakini melakukan suatu kewajiban hukum.
Lantas,
jika ada yang berkata bahwa katanya hukum itu kejam, apakah salah?. Dan lantas
kalau begitu, jika ada yang berkata bahwa katanya hukum itu ada untuk
dilanggar, apakah juga salah? Dan namun jika kiranya begitu. Jika ada yang
berkata bahwa katanya hukum itu hanya milik kaum feodal, apakah juga akan
salah? Lantas ketika coletahan-celotehan negatif ini sudah menjadi hukum
kebiasaan. Apakah ada yang salah?!
Begitulah
makna tentang hukum, kawan. Seakan berkembang, padahal itu adalah
"norma" lama yang sering dan sudah lama terdengar. Berulang-ulang
kedengarannya. Berulang-ulang penjelasannya. Berulang-ulang terjadi praktek
nyatanya. Tapi sadarkah "norma" tersebut telah menjadi "hukum
kebiasaan"?!
Katanya
hukum itu mengatur kehidupan manusia sejak manusia lahir sampai meninggal
dunia. Alkisah, pada waktu itu ketika aku sakit, tepatnya saat berada di rumah
sakit. Pelan-pelan aku memasuki ruang bedah, kawan. Waktu yang ditunggu-tunggu,
tak terasa sudah tiba. Perlahan tapi pasti, kursi roda yang membawa tubuh
pesakitan ini akhirnya sampai juga di ruang bedah. Mungkin dari kalian ada
beberapa orang yang belum pernah menyambangi kamar bedah. Akanku ceritakan
sedikit tentang suasananya. Rumah sakit yang dapat mengadakan pembedahan, tentu
rumah sakit besar. Karena besar, maka banyak ruangan operasi yang tentu tidak
hanya dua, bisa empat bahkan enam. Dalam pembedahan, sangat jarang kita dapat
menemukan sosok perempuan. Baik perawat, dokter, tukang suntik atau anastesi,
kebanyakan pasti kaum laki-laki.
Ya, kaum
laki-laki. Kaum perempuan jarang berada di ruang operasi katanya karena alasan
sisi psikologis yang membuat sosok perempuan tidak bisa kuat bertahan di ruang
operasi. Hal ini juga karena dipengaruhi faktor sibuknya keadaan poli bedah dan
tidak jelasnya jadwal kapan operasi itu harus dilakukan, sehingga mau tidak mau
menyebabkan para kaum hawa menjadi berpikir dua kali untuk terlibat dalam
ruangan ini. Dengan mengetahui kondisi keadaan ruang operasi, tentu kalian
dapat membayangkan tentang keadaanku pada waktu itu.
Ya, akan
keadaanku. Tiba-tiba tanpa jeda waktu yang tidak begitu lama dari waktu
kedatanganku di ruang operasi, seorang perawat perempuan yang ditutupi
mulutnya, menyuruhku untuk membuka jilbab di tengah kaum laki-laki. Suaranya
yang begitu keras, tentu membuat perhatian dengan satu pusat penjuru tertoleh
ke arahku. Skak matt, gumamku. Aku diam. Tak berkutik. Dan hanya bisa bertanya
dalam hati, bagaimana dengan hukum perlindungan konsumen, bagaimana dengan
penegakan norma-norma kesusilaan, kesopanan dan agama itu seharusnya
ditegakkan. Ini rumah sakit besar, bertaraf internasional. Apakah tidak bisa
untuk dipersilahkan membuka jilbab dan menggantinya dengan topi operasi dalam
ruangan yang tertutup. Kenapa harus didepan umum. Itulah hukum, kawan. Ada untuk
dilanggar.
Lagi-lagi
katanya hukum itu lahir, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Singkat cerita,
dalam locus yang sama, yaitu rumah sakit. Suatu ketika aku sempat ingin meminta
surat sakit atas serangan-serangan penyakitku ini, kawan. Surat sakit yang
kupercaya dapat membantu perihal ketidakhadiranku dikelas selama kurang lebih
satu bulan. Rawat inap mendapat satu minggu izin sakit dan rawat jalan mendapat
tiga hari izin sakit. Pertanyaannya adalah apakah sakitnya seseorang bisa
langsung ditentukan sembuhnya dari surat sakit yang diberikan oleh dokter.
Letak masalahnya disini kawan.
Ternyata
badanku tidak semakin pulih, walaupun telah berobat ke rumah sakit. Dan yang
terjadi adalah jika aku ingin memperpanjang surat sakit, maka aku harus berobat
lagi dengan mengantri, membayar biaya pendaftaran, menemui dokter dan membayar
biaya dokter serta diberikan resep obat tambahan agar kesemua proses ini
tercatat dalam registrasi rumah sakit, yang menyatakan aku memang masih sakit.
Kenyataan
ini tentu membuat si sakit bertambah sakit. Lelahnya proses mengantri, tekanan
psikis dan psikologis akan biaya yang tidak sedikit untuk mengulangi proses
yang sama, padahal si sakit hanya menginginkan surat sakit. Hukum memang hanya
milik kaum feodal.
Itulah
hukum. Katanya hukum memang lahir, tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Sampai-sampai masyarakat sendiri (baca: rumah sakit) menganggap ini adalah
suatu hukum yang harus ditegakkan. Itulah hukum, kesannya dzahir tapi maknawi.
Tidak dapat didefinisikan. Sampai-sampai semua pihak dapat membuat hukum.
Pantaslah, kalau hukum itu kejam. Lantas katanya, bagaimana dengan hukum itu
untuk kemanfaatan. Mungkin anda dapat menjelaskannya, kawan?
#Perenungan
akan cita-cita hukum: kemanfaatan. (Terilhami dari teori Utilities Jeremy
Bentham tentang hukum untuk kemanfaatan bagi individunya dan John Stuart Mill
tentang hukum untuk kemanfaatan bagi "masyarakaynya").
Pasted
from <file:///E:\Dear%20Diary\Tulisan%20Sendiri-Publish\Katanya%20Hukum%20itu%20untuk%20Kemanfaatan.doc>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar