Baru tahu ada Mahzab Bogor?
Sekitar
bulan Oktober 2010, tepatnya di STPN Jogyakarta pertama kali itulah ku dengar
sebuah karya yang merupakan salah satu Tesis mahasiswa Sejarah UGM, Ahmad
Nashih Luthfi yang berjudul "Melacak Pemikiran Agraria, Sejarah Agraria
Mahzab Bogor". Tak tahu maksudnya apa, tak mengerti sebuah penelitian apa.
Yang baru kemudian ku tahu 'siapa mereka' yaitu saat aku diundang dalam sebuah
bedah buku dan diskusi pada tanggal 13 April 2011 di Pusat Studi Jepang, UI
untuk membahas sebuah buku "Land Reform Lokal Ala Ngandagan, Inovasi
Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa 1947-1964". Ngandagan merupakan
prakarsa lokal land reform yang merupakan inspirasi pembaruan politik dan hukum
agraria nasional serta pembaharu keteguhan tekad pelaksanaan reforma agraria di
Indonesia.
Ahmad
Nashih Luthfi merupakan seorang staf peneliti di Sajogjyo Institute, (sebuah
LSM yang bernapaskan agraria di Bogor). Beliau juga yang menulis buku tersebut.
Beliau terlahir di Tuban, pada tanggal 16 Januari 1981. Umurnya tercatat
sekitar 31 tahun. Tentu terbilang muda untuk ukuran seorang Peneliti yang
karya-karyanya telah masuk pada banyak media massa. Adapun karya-karyanya
adalah Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan;
"Pengantar LIBRA" dalam W. F. Wertheim, Elite vs Massa; Mohammad
Tauchid: Tokoh Pendiri Bangsa, Gerakan Tani dan Pendidikan Taman Siswa dalam
Moch. Tauchid Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia; Revolusi Hijau di Asia Tenggara dan Transformasi Agraria Indonesia;
Membaca Ulang Pemikiran Sartono Kartodirdjo: Telaah Awal Bulaksumur: Telaah
Awal Sartono Kartodisdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto; dan banyak lagi
karya yang lainnya.
Dalam
diskusi dan bedah buku tersebut, juga hadir partner penulis yang juga merupakan
Ketua Sajogyo Institute, yakni Mohamad Shohibuddin. Sama dengan Luthfi, Shohib
juga merupakan staf peneliti. Lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di bidang
Teologi Filsafat pada tahun 2009 ini, sekarang lebih banyak menekuni kajian
agraria dan ekologi politik sejak menempuh studi S2 di Program Studi Sosiologi
Pedesaan, IPB. Sosok yang lebih muda dari Luthfi ini, karyanya telah
diterbitkan dalam publikasi internasional dan nasional. Adapun publikasi
international adalah Feasibility Study on the Development of Community Based
Forest Management for Improving Watershed Management and Poor Households
Walfare; Questioning Pathways Out of Poverty Indonesia as an Illustrative Case
for the World Bank's Transforming Countries; Discursive Strategies and Local
Power in the Politics of Natural Resources Management: the Case of Toro Village
in Matter of Mutual Survival: Social Organization of Forest Management in
Central Sulawesi, Indonesia; Farm Credit Institution in Indonesia: Lesson
Learnt from Failure of KUT (Kredit Usaha Tani) and KUD (Village Level
Cooperative) in proceedings of the 2nd Asia Pacific Agricultural Policy Forum:
Focus on Rice Culture and Agriculture in Asia Pacific.
Dan
publikasi dalam negeri yaitu Krisis Agraria sebagai Akar Kemiskinan: Menuju
Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan, Sejarah Indonesia: Lokal dan Global;
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir; Gunawan
Wiradi: Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria;
Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi; Gunawan Wiradi, Ranah
Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris; Reforma Agraria: Dari
Desa ke Agenda Bangsa (dari Ngandagan, Jawa Tengah sampai Porto Alerge,
Brazil); Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia; Lumbung
Paceklik, Budaya Tani yang Lestari; Dimensi Etis Revitalisasi Identitas Ngata:
Perjuangan Otonomi di Komunitas Tepi Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi
Tengah; Lembaga Keuangan Mikro sebagai Jembatan Perdamaian Masyarakat Posos
Pasca Konflik; Reforma Agraria: Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian dan
Pedesaan; Menegadkan Kembali Keharusan Reforma Agraria sebagai Basis
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan; dan lain-lain.
Pada tahun
2010 Shohib mendapat fellowship dari Indonesia Young Leaders Programme, Leiden
University dan atas beasiswa Nederland Fellowship Programme dari negeri
Belanda, beliau dapat menjadi peserta short course tentang Government for
Forest, Nature and People: Managing Multistakeholder Learning in Sector
Programmes and Policy Processes.
Inilah
sosok dua orang penulis, Land Reform Ala Ngandagan yang menjadi pemantik
pengetahuanku tentang adanya sebuah mahzab Bogor, para pemikir agraria di
daerah Bogor. Di daerah tempat tinggalku. Rasanya sangat kerdil sekali baru
mengetahui sejarah tokoh pemikir agraria.
Lantas
siapakah Mahzab Bogor itu? Mahzab Bogor ialah Sediono M. P. Tjondronegoro,
Gunawan Wiradi dan Sajogjo. Mereka merupakan tiga serangkai para pemikir
pembaharu agraria dari Fakultas Sosiologi Pedesaan, IPB. Karya-karya mereka
telah mewabah menjadi basis pemikiran mulai dari daerah sampai tataran
nasional.
Apa
pemikiran yang mereka bawa? Sejauh mana pemikiran mereka sampai muncul sebuah
doktrin kata "mahzab"? Sayangnya aku belum menganalisis sejauh itu.
Itulah PR bagiku dan berharap PR bagi teman-temanku, calon pemikir agraria
mendatang.
Terkadang
aku merasa dilematis. Mungkin ini yang dinamakan krisis kader pemikir agraria.
Jarang pemuda-pemudi bangsa yang mau maju menginisiasi pemikiran agraria yang
inovatif kreatif. Mengapa jarang? Karena bawaan pemahaman agraria yang
didominasi dimensi sejarah inilah penyebabnya. Kenyataannya banyak pemahaman
calon pemikir agraria cenderung putus-putus, tidak utuh padu jauh mengkait
menjadi satu, sehingga cenderung diolok-olok atau dianggap belum mampu untuk
memberikan pencerahan agraria mendatang.
Ada
disparitas yang begitu besar ketika kita bicara akan dimensi sejarah yang
menjadi masalah pengkaderan pemikiran agraria. Ketidakpahaman akan dimensi
sejarah terkadang dijadikan alasan bagi banyak kepentingan untuk mempertahankan
kedudukannya. Artinya, dalam beberapa hal terkadang dijadikan alasan bagi
pemikir agraria untuk tetap mengeksiskan dirinya, lupa terhadap pengkaderan
calon pemikir agraria mendatang. Dan sayangnya terhadap calon pemikir, mereka
malah menikmati keadaan dirinya sebagai penikmat pemikiran, bukan bersiap
menjadi seorang pencipta pemikiran.
Di
lapangan, banyak guru-guru kita yang memaksakan doktrinnya dengan klaim banyak
pengalaman (tidak menjadikan dirinya sama dengan calon pemikir yaitu sebagai
seorang pembelajar). Penyebab lainnya yang juga menempati porsi besar sebagai
penyebab hancurnya sistem pengkaderan agraria adalah akses pembelajaran agraria
yang bersifat kedaerahan. Hal ini membuat para pembelajar tidak mendapatkan
pelajaran lapangan yang baik tentang konsep keagrariaan.
Aspek
sejarah tercatat begitu penting ketika memahami seluk-beluk keagrariaan. Ya,
begitu penting bahkan sangat penting. Aspek sejarah begitu penting entah
tercipta dengan sendirinya atau diciptakan agar terbentuk sebuah doktrin agar
memang benar-benar penting. Begitu pentingnya sampai Gunawan Wiradi
mengeluarkan sebuah doktrinya, yaitu sangat penting untuk memahami agraria,
dari aspek terminologi, multidisiplin Ilmu, dan dimensi sejarah. Sampai-sampai
ketika terjun ke lapangan beberapa kali HUT UUPA selalu mengeluarkan sebuah
buku yang berjudul tokoh tua yang berjasa dalam pemikiran agraria, dan
faktanya, Adakah lembaga BPN RI mengikuti inovasinya? Atau LSM agraria
mengikuti inovasinya?
Di
lingkungan agraria, di satu sisi dapat diakui memang telah terjadi krisis kader
pemikir agraria. Jarang pemuda-pemudi bangsa yang mau maju menginisiasi
pemikiran agraria yang inovatif kreatif.
Mungkin
kalian lebih maju dariku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar