Rabu, 12 Desember 2012

R I N D U !


Senja ini seakan bukan permulaan malam. Sengat mentari itu seakan juga bukan permulaan siang. Mendung ini bukan berarti kan turun hujan. Hujan lebat bukan selalu membuat angin bertiup kencang. Kobaran api bukan berarti kan kebakaran. Jantung berdetak kencang juga bukan berarti ada gangguan.

Panasnya tubuh tak selalu kecapean. Lelahnya mata tak selalu saya ngantukan. Rindunya hati tak selalu kangen seseorang. Letihnya pikiran tak selalu butuh pendamping kehidupan. Dan dua kalimat terakhir, tak selalu jujur diucapkan dari hati yang terdalam.

Hidup. Hidup memang tak selalu memuat dua kalimat terakhir dalam posita yang sekilas baru disebutkan. Melainkan hidup tersusun dengan teka-teki hidup yang saling menguatkan satu dengan lainnya. Dulu bisa ngomong begini, sekarang bisa ngomong yang beda lagi. Sayangnya bertolak-belakang dengan hukum yang dimaknai: menghendaki adanya sebuah konsistensi.
Kau tahu? Andaikan angin bisa bicara. Andaikan bulan bisa ngomong sesuka kata. Andaikan batu bisa menjadi teman yang setia. Andaikan ombak bisa bersenda gurau mainkan canda. Andaikan jibril selalu membawa kabar gembira. Andaikan rerumputan bisa membantu damaikan hati yang sedang gundah. Pasti hidup bukan lagi sarat dengan teka-teki belaka. Pasti hidup menjadi statis, karena semua ada saksinya (Pasal 164 HIR).

Kata pepatah kuno. Hidup memuat seribu satu tanda tanya. Dan salah satu tanda tanya terbesarnya adalah soal rindu. Dan kau tahu? Tepatnya saya sekarang sedang rindu!

Rindu pada otak, yang anehnya sekarang bisa lupa. Rindu pada ilmu, yang harusnya dapat mengalir dengan setia. Rindu pada buku, sehingga ingin terus membaca. Rindu menjadi orang berilmu, karena tak dapat melihat langsung keadaan yang berbeda dari kehidupan yang sebenarnya fana. Ah, hidup! Hidup memang hidup. Hidup tak kan selesai dengan kehidupan yang tidak hidup.

Kehilangan separuh dari nilai kekayaan apa-apa yang kamu junjung tinggi dalam hidup, tentu sekejap membuatmu menjadi kelu. Tak enak makan, tak enak tidur apalagi terus hanya sekedar mengeluh. Itulah yang saya rasakan saat ini. Kehilangan kemampuan hukum yang tidak pernah dipelajari selama satu tahun dan semua telah berlalu.

Rasanya seakan sama seperti pemegang saham minoritas yang dirugikan oleh Perseroan. Atau sama seperti pihak yang dirugikan oleh Deditur sehingga dapat mengajukan tuntutan sesuai Pasal 1267 KUHPerdata (red: walau ada perbedaan pendapat tentang penggunaan kata yang lebih tepat untuk gugatan/tuntutan, dalam konteks persidangan kasus perdata). Atau mungkin sama resahnya seperti ahli waris yang beragama kristen pada pembagian warisan harta bersama dengan UU 1/1974, yang mendapatkan porsi sesuai Pasal 183 KHI.

Keadaan kepala ini memang tak lagi sempurna. Satu per satu hilang karena digantikan dengan hal baru yang dijadikan novum dalam eksepsi dalam persidangan organ di kepala. Kata teman saya, jangan sibuk mencari yg sempurna, jika yg sederhana saja bisa membuatmu bahagia. Aih..aih.. Singkat sekali katanya. Namun sulit sekali mendapatkannya. Sulit menjabarkan kata 'sederhana' dengan sekedar menggunakan penafsiran gramatikal.

Hilang sepertinya kemampuan terbaik saya dalam hukum perdata. Begitu pula, obscuur libel/tidak jelas kemampuan berpikir saya dalam hukum agraria. Sulitnya mengkonstatir peristiwa yang dulu pernah diingat dan dialami untuk dikembalikan menjadi pengetahuan semesta. Hilangnya kemampuan mengkualifisir peristiwa dengan ilmu hukum yang dulu dimiliki menjadi kendala dalam mengkonstituir pengetahuan di zaman yang sekarang serba berbeda.

Waktu terus berjalan mendampingi kehidupan. Sudah seharusnya waktu yang berdetak berjalan bersamaan dengan pengetahuan. Kejar apa-apa yang menjadi pokok perkara yang dirindukan. Lakukan prioritas dengan giat belajar pada guru sekaligus advocate yang senatiasa menjadi incaran. Incaran mafia untuk membela tindak-tanduk kesesatan, maupun incaran mahasiswa sebagai pemburu ilmu pengetahuan.

Matahari, angin, batu, api, dan jantung yang tak selalu menjadi jawaban atas kerisauan.

-----
Mulai candu (belajar) hukum perdata.
Mulai 'gila'--paska nonton film Rayya.
Mulai belajar gaya tulis--metafora.

Special giving for Garda Utama & associates


Aku Kangen (Yogyakarta)

Aku Kangen (Yogyakarta)

Lampu-lampu berwarna merah itu ada lagi. Mereka berpendar. Tersenyum seakan ingin mengucap selamat datang dalam arena yang dulu tlah lama kau tinggal.

Suara roda-roda besi itu ada lagi. Mereka bersimpul terikat mati. Berada di bawah gerbong-gerbong tua yang baru dibenahi. Besi itu berpilin mengabarkan yang lama tinggal, sudah pergi. Sisa yang baru--sama dengan kau waktu enam tahun lalu.

Bunyi klakson kereta juga tak mau ditinggal. Ia menyusul, dari belakang dan dari depan. Seakan membisikkan untuk mempersiapkan dirimu jauh lebih matang.

Angin yang dulu juga masih ada. Ia masih membelaiku halus. Menenangkanku untuk tidur tinggalkan sesak keramaian ibukota.

Seperti biasa. Digerbong kereta begitu sepi. Sisa petugas yang sibuk memeriksa karcis dan mengucapkan terima kasih. Yang lain sudah terlihat lelah. Beberapa sudah pulas. Tenang. Mungkin penduduknya sudah bermimpi. Mimpi telah sampai di kota itu. Kota pertama, tempatku mengenal Dia. Kota pertama, tempatku mengenal dakwah. Kota pertama, tempatku sering bertemu denganNya.
Ah, Jogyakarta.
Aku kangen.


Katanya Hukum Itu Untuk Kamanfaatan

Katanya Hukum itu untuk Kemanfaatan

Berdasarkan pelajaran pengantar ilmu hukum, katanya hukum itu tidak dapat didefinisikan, karena ada keberagaman tentang definisi hukum. Berdasarkan pelajaran teori hukum, katanya hukum itu lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakat. Berdasarkan pelajaran hukum perdata, katanya hukum itu mengatur kehidupan manusia dari lahir sampai seseorang meninggal dunia.

Hai, kalian para calon sarjana dan sarjana hukum? Ingatkah kalian akan pelajaran tentang penemuan hukum. Apa itu kebiasaan dan bagaimana kebiasaan itu bisa menjadi hukum?! Singkat syaratnya adalah harus berlangsung lama, menimbulkan keyakinan umum, dan diyakini melakukan suatu kewajiban hukum.

Lantas, jika ada yang berkata bahwa katanya hukum itu kejam, apakah salah?. Dan lantas kalau begitu, jika ada yang berkata bahwa katanya hukum itu ada untuk dilanggar, apakah juga salah? Dan namun jika kiranya begitu. Jika ada yang berkata bahwa katanya hukum itu hanya milik kaum feodal, apakah juga akan salah? Lantas ketika coletahan-celotehan negatif ini sudah menjadi hukum kebiasaan. Apakah ada yang salah?!

Begitulah makna tentang hukum, kawan. Seakan berkembang, padahal itu adalah "norma" lama yang sering dan sudah lama terdengar. Berulang-ulang kedengarannya. Berulang-ulang penjelasannya. Berulang-ulang terjadi praktek nyatanya. Tapi sadarkah "norma" tersebut telah menjadi "hukum kebiasaan"?!

Katanya hukum itu mengatur kehidupan manusia sejak manusia lahir sampai meninggal dunia. Alkisah, pada waktu itu ketika aku sakit, tepatnya saat berada di rumah sakit. Pelan-pelan aku memasuki ruang bedah, kawan. Waktu yang ditunggu-tunggu, tak terasa sudah tiba. Perlahan tapi pasti, kursi roda yang membawa tubuh pesakitan ini akhirnya sampai juga di ruang bedah. Mungkin dari kalian ada beberapa orang yang belum pernah menyambangi kamar bedah. Akanku ceritakan sedikit tentang suasananya. Rumah sakit yang dapat mengadakan pembedahan, tentu rumah sakit besar. Karena besar, maka banyak ruangan operasi yang tentu tidak hanya dua, bisa empat bahkan enam. Dalam pembedahan, sangat jarang kita dapat menemukan sosok perempuan. Baik perawat, dokter, tukang suntik atau anastesi, kebanyakan pasti kaum laki-laki.

Ya, kaum laki-laki. Kaum perempuan jarang berada di ruang operasi katanya karena alasan sisi psikologis yang membuat sosok perempuan tidak bisa kuat bertahan di ruang operasi. Hal ini juga karena dipengaruhi faktor sibuknya keadaan poli bedah dan tidak jelasnya jadwal kapan operasi itu harus dilakukan, sehingga mau tidak mau menyebabkan para kaum hawa menjadi berpikir dua kali untuk terlibat dalam ruangan ini. Dengan mengetahui kondisi keadaan ruang operasi, tentu kalian dapat membayangkan tentang keadaanku pada waktu itu.

Ya, akan keadaanku. Tiba-tiba tanpa jeda waktu yang tidak begitu lama dari waktu kedatanganku di ruang operasi, seorang perawat perempuan yang ditutupi mulutnya, menyuruhku untuk membuka jilbab di tengah kaum laki-laki. Suaranya yang begitu keras, tentu membuat perhatian dengan satu pusat penjuru tertoleh ke arahku. Skak matt, gumamku. Aku diam. Tak berkutik. Dan hanya bisa bertanya dalam hati, bagaimana dengan hukum perlindungan konsumen, bagaimana dengan penegakan norma-norma kesusilaan, kesopanan dan agama itu seharusnya ditegakkan. Ini rumah sakit besar, bertaraf internasional. Apakah tidak bisa untuk dipersilahkan membuka jilbab dan menggantinya dengan topi operasi dalam ruangan yang tertutup. Kenapa harus didepan umum. Itulah hukum, kawan. Ada untuk dilanggar.

Lagi-lagi katanya hukum itu lahir, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Singkat cerita, dalam locus yang sama, yaitu rumah sakit. Suatu ketika aku sempat ingin meminta surat sakit atas serangan-serangan penyakitku ini, kawan. Surat sakit yang kupercaya dapat membantu perihal ketidakhadiranku dikelas selama kurang lebih satu bulan. Rawat inap mendapat satu minggu izin sakit dan rawat jalan mendapat tiga hari izin sakit. Pertanyaannya adalah apakah sakitnya seseorang bisa langsung ditentukan sembuhnya dari surat sakit yang diberikan oleh dokter. Letak masalahnya disini kawan.

Ternyata badanku tidak semakin pulih, walaupun telah berobat ke rumah sakit. Dan yang terjadi adalah jika aku ingin memperpanjang surat sakit, maka aku harus berobat lagi dengan mengantri, membayar biaya pendaftaran, menemui dokter dan membayar biaya dokter serta diberikan resep obat tambahan agar kesemua proses ini tercatat dalam registrasi rumah sakit, yang menyatakan aku memang masih sakit.

Kenyataan ini tentu membuat si sakit bertambah sakit. Lelahnya proses mengantri, tekanan psikis dan psikologis akan biaya yang tidak sedikit untuk mengulangi proses yang sama, padahal si sakit hanya menginginkan surat sakit. Hukum memang hanya milik kaum feodal.

Itulah hukum. Katanya hukum memang lahir, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sampai-sampai masyarakat sendiri (baca: rumah sakit) menganggap ini adalah suatu hukum yang harus ditegakkan. Itulah hukum, kesannya dzahir tapi maknawi. Tidak dapat didefinisikan. Sampai-sampai semua pihak dapat membuat hukum. Pantaslah, kalau hukum itu kejam. Lantas katanya, bagaimana dengan hukum itu untuk kemanfaatan. Mungkin anda dapat menjelaskannya, kawan?

#Perenungan akan cita-cita hukum: kemanfaatan. (Terilhami dari teori Utilities Jeremy Bentham tentang hukum untuk kemanfaatan bagi individunya dan John Stuart Mill tentang hukum untuk kemanfaatan bagi "masyarakaynya").



Kejamnya Dunia!

Terus bisa apa?

Tak menyangka.
Tak menyangka banyak yang berubah dari kehidupan ini.
Murah ke mahal.
Suci ke nista.
Bersih ke kotor.
Kaya ke miskin.
Bahkan sampai miskin ke melarat.

Tak heran.
Tak heran harga BBM, listrik, dan kebutuhan dasar menjadi naik.
Tak heran banyak masyarakat miskin yang seringnya marah-marah karena sudah banyak tekanan.
Tekanan hidup, tekanan sehat bahkan sampai makan pun sekarang sudah ditekan.
Banyak orang beriman yang tak lagi pegang Qur’an untuk menjawab segala persoalan.
Semua kocar-kacir tak lagi punya pegangan.
Tak lagi ada pengkaderan untuk membentuk segelintir orang dengan aqidah yang mempan walau dibombardir dengan ‘senapan’.

Dunia oh dunia.
Ia mengubah segala hal fana menjadi sesuatu hal yang seakan kekal selamanya.
Semua terasa indah di mata.
Semua berbalik dengan keadaan yang sebelumnya tak pernah diterima.
Lagi-lagi Allah menguji orang-orang beriman dengan cobaan yang itu-itu saja.
Tak maju, keadaannya serupa, dan dengan kegalauan yang 100% sempurna.

Mungkin sebentar lagi kiamat.
Terdengar sangkakala Nabi Israfil di langit-langit sana.
Datang dajjal.
Turun Nabi Isa.
Keluar makhluk dan benda dari dalam perut bumi.

Ah, dunia.
Ia mengubah semuanya dengan hal yang tak pernah diduga.
Ia sudah berubah menjadi Jakarta.
Kejamnya sudah mulai terasa.
Sampai ke hati dan menusuk ubun-ubun ke ribuan anak bangsa.

*Adaut, 15 Maret 2012. Orang beriman terhadap orang beriman lainnya, seperti bangunan yang antara bagian yang satu dan bagian lainnya saling menguatkan---HR. Muslim.



"Mata Ibu Ratih Sekali"

Kata orang saya itu galak. Pernyataan ini sebenarnya benar. Tapi di sini (red: Maluku Tenggara Barat) sayangnya pernyataan itu salah. Alasannya tentu bukan karena saya menjadi orang baik. Tapi karena di sini ternyata masih ada orang yang lebih galak lagi. Bukan sedang mengajarkan majas perbandingan, melainkan ini soal informasi bahwa orang galak ternyata juga bisa lebih disayang. Kok bisa? Begini ceritanya.

Hari ini adalah hari pertama saya tiba di Adaut. Sekitar empat hari sebelum pembagian laporan pendidikan. Pertama kali saya pergi ke sekolah, seperti biasa anak-anak dengan senyum lebar dan teriakan yang keras selalu mengucapkan “Hei anak-anak.... Ibu Ratih datang. Ibu Ratih datang...ibu Ratih datang....”

Lalu diikuti dengan lari-lari kecil anak-anak yang menyambangi diri saya satu per satu. “Ibu...ibu....ibu...” diikuti baku pukul dan baku maki, karena mereka saling dorong untuk memegang tanganku. Awalnya saya juga heran, mengapa anak-anak ini begitu antusias. Bukankah saya galak? Kenapa ya mereka tetap ingin terus mendekati? Bukti bahwa saya galak bukankah sudah tersebar ke seantro jagad raya? (Lebay). Tapi anehnya anak-anak tetap suka. Mereka menerima saya apa adanya. Mereka terlalu jujur untuk mengatakannya. Mereka sungguh lugu. Mungkin sama dengan saya yang lugu. Bisa kau bayangkan, lugu bertemu lugu hasilnya jadi lucu. Halah.

Yang jelas pagi bertemu siang, siang bertemu sore, anehnya tidak ada yang berubah dari mereka. Mereka sangat senang berbagi cerita, berbagi emosi dan berbagi makanan pada saya walau saya galak. Dalam hati kadang saya suka bertanya-tanya, “kok aneh betul ini anak-anak walau dimarahi tetap saja seakan tidak berubah?” Mengapa mereka tidak kapok ya kalau saya sudah ceramahi dengan pernyataan dan pertanyaan yang selalu sama. Mulai dari ceramahi mengapa seng (red: tidak) mengerjakan PR? Mengapa seng bawa pensil? Mengapa seng tulis tugas? Mengapa jambak rambut pung teman? Mengapa seng pake sepatu? Mengapa seng sekolah kelemarin? Kenapa seng dengar kalau ibu sedang menjelaskan? Kenapa makan di kelas? Kenapa rambut seng dicukur-cukur? Kenapa kuku tangan seng dipotong? Pokoknya pertanyaan dan pernyataan dengan menggunakan “seng” rasanya su habis dimuntahkan oleh mulutku ini setiap harinya. Hal ini diakui memang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Mungkin saya juga takkan terima profesi sebagai seorang guru, jika syarat utama ternyata ‘harus mengucapkan hal yang sama, berulang kali dalam keadaan yang serupa’. Tapi teman, bukankah itu tanda cinta kita terhadap seorang anak, jika kita selalu mengulang-ulang hal yang sama? Menasehati agar hal buruk ditinggalkan dan hal baik dapat dilaksanakan? Ah, melankolis sekali pembahasan kali ini. Namun begitulah adanya. Ternyata anak-anak bisa mencintai saya--yang juga masuk kategori guru galak. Ungkapan ini booming dengan sapaan: “mata Ibu Ratih sekali”, dan kau tahu apa maksudnya?

“Mata Ibu Ratih sekali” itu adalah sebuah ungkapan yang sering digunakan anak-anak kalau ada yang coba selalu ingin dekat-dekat dengan saya. Aishhh... hal ini digunakan kapanpun dan dimanapun. Ungkapan ini mirip dengan ungkapan yang sering digunakan anak-anak saat mengucapkan mata mangga, mata uang, mata kusambi, mata jagong, dan mata-mata yang lain.

Misalnya saja mata mangga. Mata mangga digunakan untuk anak-anak yang suka sekali dengan mangga. Artinya, si anak akan berjuang sekuat tenaga hanya untuk mendapatkan sebuah mangga.

Atau contoh lain adalah mata uang. Mata uang biasa dikomentari untuk anak-anak yang senangnya selalu minta uang atau based on money to create their life. Bedanya dengan mata Ibu Ratih hanyalah dari segi intensitasnya saja. Mata Ibu Ratih sekarang sudah menempati posisi tertinggi. Mungkin sudah mirip top the top dalam gunjingan anak-anak se-sekolah. Kalau dilombakan, mungkin sudah dapat award mengalahkan ‘Empat Mata’ dan ‘Mata Dewa’ dalam film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Halah. Pembahasan apa ini...

Kesehariannya, biasa anak-anak menggunakannya begini. Misal ada anak kelas VI yang dekat-dekat saya. Tak lupa ia berusaha untuk membagi makanan jagung gorengnya pada saya. Tak berapa lama, pasti nanti ada saja yang bilang “mata ibu Ratih sekali, oce (red: kamu) ini”. Saya pun hanya bisa senyum-senyum sendiri kala ungkapan ini mencuat.

Atau ada lagi contoh yang lain. Saat anak-anak kelas III melakukan action research, biasanya ada saja anak-anak yang saling baku pukul dan baku maki hanya untuk memegang tangan dan ada di samping saya. Setelah baku pukul terjadi dan sudah kedapatan anak tersebut ada di samping saya, pasti saja secara refleks akan terdengar lontaran anak-anak, “Mata Ibu Ratih skaa (red: sekali) oce”. Lantas, diikuti dengan gerakan sambil mendorong atau sambil menjambak. Wuidihhh. Dalam hati saya hanya berbisik, “segitunya ini anak-anak.”

Beberapa kali saya pun menemui kejadian serupa saat belajar di dalam kelas. Pada waktu itu, anehnya anak kelas I dan anak kelas II suka sekali memperhatikan saya di muka pintu dengan memadati pintu masuk. Lantas tak lama, pasti ada saja dari beberapa anak kelas saya--yang cemburu gurunya diperhatikan--langsung mengusir mereka. Cara mengusir mereka tentu tetaplah sama dengan tema utama. Mereka tetap mengatakan, “oce ini, mata Ibu Ratih skaaa. Sana pigi (red: pergi)”, kemudian disusul suara sapu mengusir anak-anak yang lari kocar-kacir, “bak-buk-bak-buk....” Aishhh... Anak kelas I dan kelas II yang mendapatinya, hanya mampu menyumpah dengan lengkingan tinggi, “Kejam sekali e.”

Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Rasanya kondisi ini tetap tidak berubah. “Mata Ibu Ratih” yang saya sangka sebagai ungkapan musiman ternyata tidak terbukti. Sampai dengan hari ini anak-anak tetap mengungkapkan ungkapan yang sama: “Mata Ibu Ratih sekali oce” jika ada yang coba-coba mendekati.

Heran. Saya dibuatnya heran. Andaikan diperbolehkan membuat soal ujian seperti ini: “apakah yang membuat anak-anak begitu mencintai Ibu Ratih?” pasti anak-anak akan sangat sulit menjawabnya. Kesulitannya tentu bukan cara menjabarkannya. Tapi kesulitannya karena banyak anak-anak saya yang tidak bisa membaca. Hehe. Bercanda. Maksud saya bisa jadi anak-anak tidak mengetahui apa arti kata “cinta”. Yang mereka tahu, hanya sebuah kata sederhana yang selalu mereka ungkapkan “mata Ibu Ratih sekali”. Atau bahkan kesulitannya bisa pula seputar “mengapa kok orang galak bisa jadi disukai?”

Kau tahu, kawan? Menjadi orang galak itu terkadang memang banyak musuhnya. Tapi menjadi orang galak dengan banyak penggemar anak murid, sebenarnya itu bisa-bisa juga. Dilandasi dengan motif selalu perhatian, memiliki sifat keluguan yang sama, kedekatan yang lebih intens dibanding orang galak sesungguhnya, adalah hal berbeda yang membedakan saya dengan lainnya.

Sebenarnya bahkan guru galak juga bisa dicintai oleh semua penduduk sekolah. Asalkan ia punya lagi dua kunci utama. Kau tahu apa? Hal pertama adalah kunci tulus, dan kedua adalah kunci ikhlas. Dua kata ini dalam prakteknya janganlah sekali-kali dipisahkan. Saat di penempatan, saya merasakan kata tulus dan ikhlas adalah dua hal yang berbeda. Orang yang ikhlas itu sudah pasti tulus, namun belum tentu sebaliknya. Tidak semua orang tulus itu bisa ikhlas. Keikhlasan seseorang itu sangat bergantung kepada hatinya. Hatinya di hadapan Allah ta’alla. Dan yang tahu hanyalah engkau dan Yang Maha Pencipta.

Ada sebuah hadist riwayat Muslim yang tak lama saya baca. Dikatakan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “saya mendengar Rasululloh SAW bersabda, “Pertama: di hari kiamat seorang yang mati syahid diadili, maka dihadapkan dan ditanya beberapa nikmat Tuhan yang diakuinya, lalu ditanya, “Apakah perbuatanmu terhadap nikmat itu?” Jawabnya, “saya telah berjuang untukmu sehingga mati syahid.” Jawab Tuhan, “Dusta engkau, karena maksud engkau berjuang supaya dikenal sebagai pahlawan karena keberanianmu. Dan kau sudah mendapatkannya.” Kemudian diperintahkan agar ia dicampakkan ke neraka.

Kedua: seorang pelajar yang telah pandai membaca dan mengajar Al-Qur’an, ketika pelajar itu dihadapkan kepada Pengadilan Allah Ta’alla dan ditanya tentang nikmat-nikmat karunia Allah yang telah diakuinya lalu ditanya, “Apakah perbuatanmu terhadap itu semua?” Jawabnya, “saya telah mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Itu semua saya lakukan sebagai pengabdianku terhadap-Mu.” Tuhan menjawab, “Engkau berdusta, karena engkau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an bukan untuk memperoleh ridha-Ku, tetapi agar engkau menjadi seorang Qari yang terkenal.” Kemudian pelajar itu diperintahkan Allah Ta’alla untuk ditempatkan di neraka.

Ketiga: seorang hartawan yang memiliki harta benda yang banyak, dan ini telah diakuinya. Ia ditanya, “Apakah yang engkau perbuat dengan harta bendamu yang banyak itu?” Jawabnya, “Harta benda yang saya miliki itu saya belanjakan sesuai dengan kehendak-Mu.” Jawab Tuhan, “Engkau berdusta, karena engkau membelanjakan hartamu itu bukan untuk memperoleh ridha-Ku, tetapi agar engkau menjadi orang terkenal kedermawanannya.” Lalu, orang ini diperintahkan Allah untuk dilemparkan ke dalam api neraka.

Kau tahu artinya? Sungguh menjadi orang galak itu tak gampang. Orang galak juga manusia. Selain punya kewajiban untuk mengubah sifat galaknya, ia pun harus memunculkan rasa tulus ikhlas dalam waktu yang sama.

Kadang saya bertanya dalam lubuk hati terdalam, “ya Allah akankah apa yang saya lakukan akan diridhoi olehMu? Setidaknya akankah yang saya lakukan ini dapat diterima oleh Mu?” Dengan intensitas menulis yang sering serta amalan yang diinformasikan kepada pembaca agar dapat menginspirasi, kadang cukup memberikan keresahan dari dalam diri. Kewajiban seorang Pengajar Muda untuk menginspirasi dengan amalan ikhlas tanpa mengharap balasan duniawi adalah dua hal yang beda-beda tipis. Hampir tak ada beda diantara keduanya. Terbersit sedikit saja melenceng dari niat asli, akan menyebabkan amalan tidak diterima oleh Ilahi Rabbi.

Tak terasa tiga bulan lagi masa penarikan itu kan tiba. Bisa kau bayangkan seumur hidupmu tidak akan ada lagi yang bilang “mata Ibu Ratih” di setiap jejak halaman sekolah. Tidak akan ada lagi yang memberikan kelarat (red: srikaya), nangka (red: sirsak), jagong, donat, roti, lele (red: singkong parut yang direbus) setiap kali istirahat tiba. Tidak akan ada lagi surat-surat cinta yang berterbangan dari jendela kaca dengan tulisan: “Obe love Ibu Ratih” atau “Vene sayang Ibu Ratih” atau “Ibu, kalau ke Jawa jangan lupakan Aya ya”. Tidak akan ada lagi yang menggelendotimu kemanapun kamu berada. Intinya tidak akan ada lagi penggemar setia nan jenaka yang selalu bisa mengungkapkan rasa cinta dengan berbagai versi dan mimik muka. Hanya bekas kenangan yang nantinya akan menempel pada lembar-lembar perjalanan seorang anak bangsa. Tak lebih tak kurang waktu itu kan tiba dengan segera.

* Adaut, 15 Maret 2012. Don’t be sad, nak. InsyaAllah Ibu Ratih datang lagi kesini. InsyaAllah ya.

DI-PIDANA-MATI-KAN SAJA PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DIINDONESIA!!!

Kemana perginya air laut, mengapa tiba-tiba pergi begitu surut? Kemana perginya bintang di Pulau Jawa, mengapa jauh lebih sedikit dari apa yang ada di pandangan mata? Kemana perginya bintang yang bertaburan, mengapa jika bulan bercahaya, jumlahnya semakin berkurang dari benderang yang biasanya?

Kemana perginya air tawar di daerah pantai, mengapa hanya ada satu sumur yang bisa sediakan untuk semua kebutuhan? Kemana perginya tanah merah di sebuah pulau, mengapa hanya terlihat putih, tandus, tak bisa ditanam sedikitpun oleh sayuran?

Kemana perginya telur-telur ayam di ibukota, mengapa tiba-tiba kosong, tak berjatah, katanya habis, tak bersisa? Kemana perginya ikan-ikan di laut, mengapa begitu sulit didapat padahal nelayan sudah mencarinya sampai tengah malam di laut luas tak bertepi?

Kemana perginya sinyal kala pagi menyusup sore? Kemana perginya goncangan-goncangan gempa, mengapa BMG selalu mengabarkan padahal kami yang disini tak pernah sedikitpun turut merasakan?

Kemana perginya busa saat mandi, mengapa mandi dengan air asin tidak membuat bola-bola sabun menyeringai saat bertemu kulit yang kelam karena sengatan matahari?
Kemana perginya penyakit kanker, polip, usus buntu dan sejenisnya, mengapa yang terdeteksi lagi-lagi hanya penyakit edemik bernama malaria? Kemana perginya dokter tua dan yang muda, mengapa yang ada hanya akar putih, sajen, dan cipratan air menerawang katanya santet, dimainkan, telah diguna-guna?
Kemana perginya para guru ngaji, tak inginkah mereka berdakwah sampai ujung pelosok negeri? Kemana perginya para pejabat tinggi, mengapa sudah merampok uang rakyat malah menambah beban APBN untuk mencari-cari? Kemana perginya anak-anak negeri, mengapa belajar tinggi-tinggi tapi tak ingin keliling ke negeri sendiri?

Kemanakah perginya kelak kita nanti?

Bukankah semua jawaban telah tercatat jelas di atas Arsy?

*Adaut, 31 Juli 2011, Mau sampai kapan terus berkontemplasi? KONKRET perbaikan diri, karena hanya kita yang mempertanggungjawabkan di penghujung akhir nanti !!!


Mahzab Bogor

Baru tahu ada Mahzab Bogor?

Sekitar bulan Oktober 2010, tepatnya di STPN Jogyakarta pertama kali itulah ku dengar sebuah karya yang merupakan salah satu Tesis mahasiswa Sejarah UGM, Ahmad Nashih Luthfi yang berjudul "Melacak Pemikiran Agraria, Sejarah Agraria Mahzab Bogor". Tak tahu maksudnya apa, tak mengerti sebuah penelitian apa. Yang baru kemudian ku tahu 'siapa mereka' yaitu saat aku diundang dalam sebuah bedah buku dan diskusi pada tanggal 13 April 2011 di Pusat Studi Jepang, UI untuk membahas sebuah buku "Land Reform Lokal Ala Ngandagan, Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa 1947-1964". Ngandagan merupakan prakarsa lokal land reform yang merupakan inspirasi pembaruan politik dan hukum agraria nasional serta pembaharu keteguhan tekad pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.

Ahmad Nashih Luthfi merupakan seorang staf peneliti di Sajogjyo Institute, (sebuah LSM yang bernapaskan agraria di Bogor). Beliau juga yang menulis buku tersebut. Beliau terlahir di Tuban, pada tanggal 16 Januari 1981. Umurnya tercatat sekitar 31 tahun. Tentu terbilang muda untuk ukuran seorang Peneliti yang karya-karyanya telah masuk pada banyak media massa. Adapun karya-karyanya adalah Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan; "Pengantar LIBRA" dalam W. F. Wertheim, Elite vs Massa; Mohammad Tauchid: Tokoh Pendiri Bangsa, Gerakan Tani dan Pendidikan Taman Siswa dalam Moch. Tauchid Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia; Revolusi Hijau di Asia Tenggara dan Transformasi Agraria Indonesia; Membaca Ulang Pemikiran Sartono Kartodirdjo: Telaah Awal Bulaksumur: Telaah Awal Sartono Kartodisdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto; dan banyak lagi karya yang lainnya.

Dalam diskusi dan bedah buku tersebut, juga hadir partner penulis yang juga merupakan Ketua Sajogyo Institute, yakni Mohamad Shohibuddin. Sama dengan Luthfi, Shohib juga merupakan staf peneliti. Lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di bidang Teologi Filsafat pada tahun 2009 ini, sekarang lebih banyak menekuni kajian agraria dan ekologi politik sejak menempuh studi S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan, IPB. Sosok yang lebih muda dari Luthfi ini, karyanya telah diterbitkan dalam publikasi internasional dan nasional. Adapun publikasi international adalah Feasibility Study on the Development of Community Based Forest Management for Improving Watershed Management and Poor Households Walfare; Questioning Pathways Out of Poverty Indonesia as an Illustrative Case for the World Bank's Transforming Countries; Discursive Strategies and Local Power in the Politics of Natural Resources Management: the Case of Toro Village in Matter of Mutual Survival: Social Organization of Forest Management in Central Sulawesi, Indonesia; Farm Credit Institution in Indonesia: Lesson Learnt from Failure of KUT (Kredit Usaha Tani) and KUD (Village Level Cooperative) in proceedings of the 2nd Asia Pacific Agricultural Policy Forum: Focus on Rice Culture and Agriculture in Asia Pacific.

Dan publikasi dalam negeri yaitu Krisis Agraria sebagai Akar Kemiskinan: Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan, Sejarah Indonesia: Lokal dan Global; Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir; Gunawan Wiradi: Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria; Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi; Gunawan Wiradi, Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris; Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa (dari Ngandagan, Jawa Tengah sampai Porto Alerge, Brazil); Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia; Lumbung Paceklik, Budaya Tani yang Lestari; Dimensi Etis Revitalisasi Identitas Ngata: Perjuangan Otonomi di Komunitas Tepi Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah; Lembaga Keuangan Mikro sebagai Jembatan Perdamaian Masyarakat Posos Pasca Konflik; Reforma Agraria: Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan; Menegadkan Kembali Keharusan Reforma Agraria sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan; dan lain-lain.

Pada tahun 2010 Shohib mendapat fellowship dari Indonesia Young Leaders Programme, Leiden University dan atas beasiswa Nederland Fellowship Programme dari negeri Belanda, beliau dapat menjadi peserta short course tentang Government for Forest, Nature and People: Managing Multistakeholder Learning in Sector Programmes and Policy Processes.

Inilah sosok dua orang penulis, Land Reform Ala Ngandagan yang menjadi pemantik pengetahuanku tentang adanya sebuah mahzab Bogor, para pemikir agraria di daerah Bogor. Di daerah tempat tinggalku. Rasanya sangat kerdil sekali baru mengetahui sejarah tokoh pemikir agraria.

Lantas siapakah Mahzab Bogor itu? Mahzab Bogor ialah Sediono M. P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi dan Sajogjo. Mereka merupakan tiga serangkai para pemikir pembaharu agraria dari Fakultas Sosiologi Pedesaan, IPB. Karya-karya mereka telah mewabah menjadi basis pemikiran mulai dari daerah sampai tataran nasional.

Apa pemikiran yang mereka bawa? Sejauh mana pemikiran mereka sampai muncul sebuah doktrin kata "mahzab"? Sayangnya aku belum menganalisis sejauh itu. Itulah PR bagiku dan berharap PR bagi teman-temanku, calon pemikir agraria mendatang.

Terkadang aku merasa dilematis. Mungkin ini yang dinamakan krisis kader pemikir agraria. Jarang pemuda-pemudi bangsa yang mau maju menginisiasi pemikiran agraria yang inovatif kreatif. Mengapa jarang? Karena bawaan pemahaman agraria yang didominasi dimensi sejarah inilah penyebabnya. Kenyataannya banyak pemahaman calon pemikir agraria cenderung putus-putus, tidak utuh padu jauh mengkait menjadi satu, sehingga cenderung diolok-olok atau dianggap belum mampu untuk memberikan pencerahan agraria mendatang.

Ada disparitas yang begitu besar ketika kita bicara akan dimensi sejarah yang menjadi masalah pengkaderan pemikiran agraria. Ketidakpahaman akan dimensi sejarah terkadang dijadikan alasan bagi banyak kepentingan untuk mempertahankan kedudukannya. Artinya, dalam beberapa hal terkadang dijadikan alasan bagi pemikir agraria untuk tetap mengeksiskan dirinya, lupa terhadap pengkaderan calon pemikir agraria mendatang. Dan sayangnya terhadap calon pemikir, mereka malah menikmati keadaan dirinya sebagai penikmat pemikiran, bukan bersiap menjadi seorang pencipta pemikiran.

Di lapangan, banyak guru-guru kita yang memaksakan doktrinnya dengan klaim banyak pengalaman (tidak menjadikan dirinya sama dengan calon pemikir yaitu sebagai seorang pembelajar). Penyebab lainnya yang juga menempati porsi besar sebagai penyebab hancurnya sistem pengkaderan agraria adalah akses pembelajaran agraria yang bersifat kedaerahan. Hal ini membuat para pembelajar tidak mendapatkan pelajaran lapangan yang baik tentang konsep keagrariaan.

Aspek sejarah tercatat begitu penting ketika memahami seluk-beluk keagrariaan. Ya, begitu penting bahkan sangat penting. Aspek sejarah begitu penting entah tercipta dengan sendirinya atau diciptakan agar terbentuk sebuah doktrin agar memang benar-benar penting. Begitu pentingnya sampai Gunawan Wiradi mengeluarkan sebuah doktrinya, yaitu sangat penting untuk memahami agraria, dari aspek terminologi, multidisiplin Ilmu, dan dimensi sejarah. Sampai-sampai ketika terjun ke lapangan beberapa kali HUT UUPA selalu mengeluarkan sebuah buku yang berjudul tokoh tua yang berjasa dalam pemikiran agraria, dan faktanya, Adakah lembaga BPN RI mengikuti inovasinya? Atau LSM agraria mengikuti inovasinya?

Di lingkungan agraria, di satu sisi dapat diakui memang telah terjadi krisis kader pemikir agraria. Jarang pemuda-pemudi bangsa yang mau maju menginisiasi pemikiran agraria yang inovatif kreatif.

Mungkin kalian lebih maju dariku?